TEMPO.CO, Jakarta -Beban fiskal pada tahun ini kian berat menyusul prognosis alokasi dana untuk kebutuhan program perlindungan sosial yang melampaui Pagu Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2021.
Sementara itu, penyaluran berbagai program perlindungan sosial itu acap kali tak tepat sasaran. Berdasarkan catatan Bisnis, alokasi anggaran perlindungan sosial dalam Pagu APBN 2021 mencapai Rp 408,8 triliun.
Adapun data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa prognosis APBN 2021 untuk pelaksanaan perlindungan sosial mencapai Rp 491,5 triliun. Angka itu berpotensi kembali membengkak sejalan dengan besarnya dampak Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau PPKM Darurat.
Adapun hingga paruh pertama tahun ini, pemerintah telah menggelontorkan dana untuk kebutuhan sosial mencapai Rp 203 triliun atau sekitar 49,7 persen dari Pagu APBN 2021.
Otoritas fiskal mencatat, perluasan program bantuan sosial akan mencakup perpanjangan Bantuan Sosial Tunai (BST), Bantuan Beras Bantuan Produktif Usaha Mikro (BPUM), serta subsidi kuota internet. Selain itu, subsidi Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan kebutuhan untuk melanjutkan Program Pra Kerja yang diklaim pemerintah cukup berhasil menekan angka pengangguran di tengah resesi ekonomi.
“Penguatan pelaksanaan perlindungan sosial semester II/2021 dilakukan dengan meningkatkan akurasi data,” tulis dokumen Kementerian Keuangan yang dikutip Bisnis, Minggu, 18 Juli 2021. Kementerian Keuangan menambahkan, penguatan penyaluran bantuan sosial juga dilakukan dengan optimalisasi alokasi dana yang sejauh ini belum terserap, terutama melalu perpanjangan BST dan Bantuan Beras.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan APBN 2021 telah bekerja keras dengan peningkatan realisasi belanja negara. Adapun, APBN 2021 juga diklaim sangat responsif memberikan perlindungan kepada masyarakat dalam bentuk dukungan penanganan kesehatan, dan perlindungan sosial.
“APBN menjadi luar biasa penting mendorong ekonomi dan ini salah satunya ditunjukkan dengan belanja pemerintah yang menjadi motor penggerak pada semester I/2021,” kata dia.
Kendati demikian, penambahan alokasi anggaran untuk perlindungan sosial ini meningkatkan risiko penyalahgunaan, lemahnya pengendalian internal, serta ketidakpatuhan. Pasalnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya cacat tata kelola bantuan sosial dalam APBN 2020. Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2020, BPK mencatat temuan total dari permasalahan belanja bantuan sosial pada tahun lalu mencapai Rp 2,47 triliun.
Secara terperinci, belanja bantuan sosial yang belum disalurkan kepada yang berhak mencapai Rp 166,17 miliar, kelebihan belanja bantuan sosial belum disetor ke kas negara Rp 8,11 miliar, serta dana adanya bantuan sosial yang belum ada pertanggungjawaban senilai Rp 672 juta.
Selain itu, kurangnya volume atau kelebihan pembayaran atas penggunaan dana bantuan sosial senilai Rp 365,15 juta, duplikasi penyaluran dana bantuan sosial senilai Rp 2,94 miliar, penggunaan dana tidak tertib sebesar Rp 744,89 miliar, dana mengendap di rekening penampung mencapai Rp 20,49 miliar, dan permasalahan penyaluran lainnya yang sebesar Rp1,53 triliun.
Data itu masih belum mencakup permasalahan pada kluster perlindungan sosial yang ditemukan pada Kementerian Sosial, di mana pelanggaran total mencapai Rp 5,96 triliun.
Minggu, 19 Juli 2021, pemerintah memutuskan menaikkan anggaran penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional atau PEN menjadi Rp 744,75 triliun. Anggaran kesehatan dan perlindungan sosial bertambah, sedangkan anggaran untuk pelaku usaha dan korporasi turun.
Sri Mulyani menjelaskan bahwa pada awalnya pemerintah menganggarkan Rp 699,43 triliun untuk penanganan Covid-19 dan PEN. Namun, perkembangan kasus Covid-19 menyebabkan adanya perubahan anggaran.
“Dengan keputusan yang sudah disetujui Bapak Presiden, anggaran penanganan Covid-19 dan PEN naik menjadi Rp744,75 triliun,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers Evaluasi Pelaksanaan PPKM Darurat, Sabtu petang, 17 Juli 2021.
Adapun, kenaikan tersebut terjadi karena pemerintah akan menyalurkan sejumlah bantuan dan subsidi, seperti bantuan sosial, subsidi beras, subsidi tagihan listrik dan abonemen listrik, hingga subsidi kuota belajar. Kementerian Keuangan tidak mengubah alokasi anggaran untuk insentif dunia usaha senilai Rp 62,8 triliun.
Lalu, terdapat tambahan Rp 900 miliar dalam anggaran program prioritas, sehingga jumlahnya menjadi Rp 117,9 triliun. Adapun, anggaran dukungan usaha menengah, kecil, dan mikro (UMKM) serta korporasi tercatat berkurang Rp 10,57 triliun, sehingga jumlahnya menjadi Rp 161,2 triliun.
Menurut Sri Mulyani, secara total terdapat penambahan anggaran Rp 45,32 triliun. Namun, berdasarkan kalkulasi Kementerian Keuangan, tambahan anggaran yang dibutuhkan sebenarnya mencapai Rp 55,21 triliun.